MUKADDIMAH
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah, ‘Al-Hamdulillah sebagai sebuah ungkapan rasa syukur atas segala anugerah – Nya, Rahmat ta’dzim dan keselamatan mudah-mudahan terlimpah curahkan kepada NabiMuhammad SAW dan seluruh keluarganya. Apa yang akan hadir dalam kitab ini, saya tuturkan beberapa hal antara lain : Hadits hadits tentang kematian dan tanda-tanda hari Qiamat, penjelasan tentang Al-Sunnah dan Al Bid’ah dan beberapa hadits yang berisi nasehat-nasehat agama.
Kepada Allah Dzat Yang Maha Mulia kutengadahkan jari-jemari dengan penuh kekhusyu’an, kumohonkan agar kitab ini memberikan manfaat untuk diri kami dan orang-orang bodoh semisal kami. Mudah-mudahan Allah menjadikan amal kami sebagai amal Sholihah Liwajhillah al-Kariem, karena Ia-lah Dzat yang Maha Dermawan penuh kasih sayang. Dengan segala pertolongan Allah Dzat yang disembah, penyusunan kitab ini dimulai.
PASAL MENJELASKAN TENTANG AL–SUNNAH DAN AL-BID’AH
Lafadz Al-Sunnah dengan dibaca dlammah sinnya dan diiringi dengan tasydid, sebagaimana dituturkan oleh Imam Al-Baqi dalam kitab Kulliyat-nya secara etimologi adalah Al-Thariqah, jalan, sekalipun yang tidak diridloi. Menurut terminologi syara’ : Al-Sunnah merupakan Al-Thoriqoh, jalan atau cara yang diridloi dalam menempuh agama sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rosulillah Saw atau selain beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan di dalam masalah agama seperti pada para sahabat R.A. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi:
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي
“Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Al-Khulafaur Rasyidin, setelahku”.
Sedangkan menurut terminologi Urf, adalah pengetahuan yang menjadi jalan atau pandangan hidup yang dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai Nabiataupun wali. Adapun istilah Al-Sunny merupakan bentuk penisbatan dari lafadz Al-Sunnah dengan membuang ta’ marbuthah.
Lafadz Al-Bid’ah sebagaimana dikatakan oleh Al – Syekh Zaruq di dalam kitab Iddati al-Murid menurut terminologi syara’ adalah : “Menciptakan hal perkara baru dalam agama seolah-olah ia merupakan bagian dari urusan agama, padahal sebenarnya bukan, baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun dalam hakikatnya. Hal ini didasarkan pada sabda NabiSAW :
من احدث فى امرنا هذاما ليس منه فهو رد
“Barang siapa menciptakan perkara baru didalam urusanku {yakni masalah agama}, padahal bukan merupakan bagian daripadanya, maka hal itu ditolak”
Dan sabda Rasul :
وكل محدثة بدعة
“Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah”
Para Ulama menjelaskan tentang esensi dari makna dua hadits tersebut di atas yakni, perkara baru yang menjadi bid’ah adalah segala sesuatu yang dijadikan rujukan bagi perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum karena kadang-kadang bisa jadi perkara baru itu berlandaskan dasar-dasar syari’ah secara asal sehingga ia menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau berlandaskan Furu’ al-Syari’ah sehingga ia dapat dikiaskan atau dianalogkan kepada syari’at.
Al-Syekh Zaruq lantas membuat tiga ukuran (mizan) dalam hal ini yakni: Pertama harus dilihat keberadaan perkara baru tersebut, jika di dalamnya didapati termasuk dalam koridor hukum syari’at dengan dukungan dalil atau dasar yang mengukuhkannya, maka bukanlah dinamakan bid’ah. Namun bila didalamnya terdapat beberapa dalil yang tampaknya kontradiktif sehingga terjadi kesamaran, dan muncul beberapa interpretasi dalam beberapa pandangannya, maka beberapa pandangan itu harus ditelaah ulang, mana yang paling unggul untuk dijadikan rujukan dasar.
Pertimbangan Kedua adalah dengan melihat beberapa kaidah-kaidah perundangan yang telah dibakukan oleh para imam mujtahid dan pengamalan para Salafuna al-Sholih sebagai tuntunan Thariqah al-Sunnah, jika ternyata perkara itu bertentangan dengan dasar-dasar di atas melalui beberapa pertimbangan, maka jelas tidak dapat diterima. Namun bila terjadi kecocokan dalam pandangan kaidah-kaidah perundang-undangan maka dapatlah diterima, sekalipun dikalangan para Imam Mujtahid sendiri terjadi perbedaan pendapat baik secara far’u maupun asal.
Segala sesuatu itu mengikuti pada asalnya berikut dalilnya, sehingga apapun yang diamalkan oleh para Salafuna al-Sholih dengan berlandaskan pada kaidah-kaidah para Imam dan diikuti oleh kelompok Khalaf, maka tidaklah sah bila hal itu dianggap sebagai bid’ah madzumah, dan segala bentuk prilaku yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh para Salafuna al-Sholih dengan kerangka pandangan yang jelas maka tidaklah sah pula hal itu dianggap sebagai tuntunan atau sunnah, dan bukan pula harus dianggap sebagai perkara yang terpuji.
Berkaitan dengan suatu dasar yang telah ditetapkan oleh Salafuna al-Sholih tetapi tidak menjadi prilaku hidup mereka, maka Imam Malik berpendapat bahwa hal itu dianggap sebagai bid’ah dengan dalih bahwa mereka tidak akan meninggalkan segala sesuatu perbuatan apapun kecuali didalamnya ada perintah untuk meninggalkan perkara tersebut. Imam Al – Syafi’i berpandangan lain, bahwa hal itu tidaklah dianggap sebagai bid’ah, walaupun Salafuna al – Sholih tidak mengerjakannya, karena bisa jadi mereka meninggalkan perbuatan tersebut dikarenakan ada udzur yang menimpa mereka untuk melakukan hal itu pada suatu waktu, atau mereka meninggalkannya karena ia memilih untuk melakukan sesuatu yang lebih utama dari ketetapan tersebut. Dan karena segala bentuk hukum itu bisa jadi diambil atas dasar dzatiah persoalan terkait, atau dipengaruhi oleh kondisi psikologi dan sosio historis orang yang mensyari’atkannya.
Para Ulama juga berbeda pendapat dalam menyikapi persoalan yang tidak termasuk dalam kerangka sunnah, namun tidak ada dalil yang menentangnya bahkan juga tidak ada kesamaran di dalamnya. Imam Malik menganggap hal itu sebagai bid’ah, dan Imam Syafi’i menyatakan hal itu bukanlah bid’ah. Dalam hal ini Imam Syafi’i berlandaskan pada sebuah hadits :
ما تركته لكم فهو عفو
“Segala sesuatu yang aku tinggalkan karena belas kasihan terhadap kalian semua adalah diampuni”
Syekh Zaruq berpandangan bahwa : berkaitan dengan mizan yang kedua ini, beliau mencontohkannya dengan terjadinya perbedaan pandangan diantara para Ulama tentang hukumnya membuat kepengurusan jamiyyah, membaca dzikir dengan keras, dan melangsungkan do’a bersama. Karena didalam hadits ada semacam support atau al-Targhib di dalam hal ini,sekalipun Salafuna al – Sholih tidak melakukannya sehingga dengan hal ini tidaklah setiap orang yang menyepakati hal itu dianggap sebagai pembuat bid’ah dalam pandangan orang yang berpendapat lain, jika ternyata pendapat tersebut bertolak belakang dengan dalil-dalil hukum yang diambil sebagai hasil ijtihadnya, selagi tidak melampui batas wilayah yang diperkenankan baginya. Dan tidaklah sah pula perkataan seseorang yang memiliki pendapat berbeda itu dipergunakan untuk membatalkan pendapat lain yang bertolak belakang karena adanya kesamaran dalam memproses kesimpulan hukumnya. Bila dalam persoalan ini dilegalkan segala bentuk upaya pembatalan pendapat orang lain, maka yang terjadi adalah klaim pembid’ahan terhadap seluruh prilaku umat.
Sebagaimana telah diketahui bahwa sesungguhnya hukum Allah Ta’ala dalam kerangka yang bersifat ijtihadiyah dan pada wilayah furu’iyah, bagi seorang mujtahid akan sangat memungkinkan untuk dimunculkan ijtihad baru, baik hasil ijtihad baru itu mendapatkan pembenaran dari hanya seorang saja atau lebih. Rasulullah Saw bersabda :
لايصلين احد العصرالا فى بنى قريظة فادركم العصر فى الطريق, فقال بعضهم امرنا بالعجلة وصلوا فى الطريق وقال أخرون: امرنا بالصلاة هناك فاخروا ولم يعب صلى الله عليه وسلم على واحد منهم.
Sungguh seseorang tidak akan dapat melaksanakan sholat fardu Ashar kecuali diperkampungan Bani Quraidloh, lantas para sahabat mendapati masuknya waktu sholat Ashar ketika masih diperjalanan, sebagian dari mereka berkata : kita diperintahkan untuk bergegas (dalam melakukan / mendirikan sholat) dan mereka melakukan sholat diperjalanan. Sebagian dari sahabat yang lain berkata: kita diperintahkan untuk melakukan sholat di sana (perkampungan Bani Quraidloh), lantas mereka mengakhirkan sholat, dan Rasulullah Saw. tidak mencaci maki kepada salah seorangpun diantara mereka.
Sikap Rasulullah yang sedemikian begitu menyejukkan, dan menunjukkan keabsahan untuk melakukan sesuatu amal sesuai dengan apa yang dapat mereka pahami dari sabda Nabisebagai Al-Syari, sumber persyari’atan, karena pemahaman tersebut tidaklah dilandasi oleh hawa nafsu.
Mizan yang Ketiga adalah pertimbangan yang bersifat membedakan yang didasarkan pada beberapa kriteria hukum yang otentik, hal ini akan bersifat tafsili, atau terperinci. Dengan mizan ini sebuah persoalan akan dapat diklasifikasikan dalam enam bentuk hukum syari’at yakni : wajib, sunnah, haram, makruh, khilaful aula dan mubah. Segala bentuk persoalan itu diilhaqkan dengan dalil tersebut, dan jika tidak memiliki dalil maka dapatlah dikatakan sebagai bid’ah. Melalui mizan ini, banyak dari hukum yang kemudian mengistilahkan identitas hukum dari sebuah persoalan tersebut dengan bid’ah wajibah, nadbiah, tahrimah, karohah, khilafal aula dan bid’ah ibadah tetapi hanya dalam istilah kebahasaan saja untuk memberikan kemudahan.
Lebih spesifik lagi Syekh Zaruq membagi bid’ah kedalam 3 kelompok yakni;
Pertama, Bid’ah Shorihah yaitu suatu persoalan yang ditetapkan tanpa berlandaskan dalil syari’ dan tidak mencocoki pada sebuah masalah yang telah mendapatkan ketetapan hukum syara’ apakah wajib, sunnah, mandub atau yang lainnya. Bid’ah ini pada akhirnya membunuh potensi sunnah dan membatalkan perkara yang haq, bentuk ini adalah seburuk-buruknya bid’ah, meskipun daripadanya dikemukakan sejumlah alasan pada kerangka usul maupun furu’ tetaplah tidak dapat mempengaruhi keshorihan bid’ah-nya.
Kedua Al–bid’ah al – Idlofiyah yaitu bid’ah yang disandarkan pada sebuah perintah di mana bila perintah itu diterima sebagai sandaran bid’ah tersebut maka tidaklah sah terjadinya saling mempertentangkan keberadaan perkara tersebut, apakah sebagai sunnah ataupun bid’ah tanpa perselisihan sebagaimana tersebut di muka.
Ketiga, Al-Bid’ah al-Khilafiyah, yaitu bid’ah yang dilandasi oleh dua dalil yang saling tarik menarik diantara keduanya, disatu sisi dia berkata: ini didasarkan pada sumber ini, dan pendapat yang lain menyatakan bid’ah, dan ia menyangkal dengan dalil yang bertolak belakang, dan ia menyatakan sunnah, sebagaimana contoh kasus di atas yakni tentang membuat kepengurusan jam’iyyah atau majlis dzikir dan do’a bersama.
Al -’Allamah Imam Muhammad Waliyuddin al-Syibtsiri dalam Syarah Al-Arba’in al-Nawawiyah memberikan komentar atas sebuah hadits Nabi:
من احدث حدثا او اوى محدثا فعليه لعنة الله
Barang siapa membuat persoalan baru atau mengayomi atau setidaknya mendukung seseorang yang membuat pembaharuan, maka ditimpakan kepadanya laknat Allah.
Masuk dalam kerangka interpretasi hadits ini yaitu berbagai bentuk transaksi/akad-akad fasidah, menghukumi dengan kebodohan, berbagai bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara’ dan lain-lain. Keluar dari bingkai pemahaman terhadap hadits ini yakni segala hal yang tidak keluar dari dalil syara’ terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana tidak terdapat korelasi yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan dalil-dalilnya kecuali sebatas dhon, persangkaan mujtahid. Seperti menulis Mushaf, meluruskan pendapat-pendapat Imam madzhab, menyusun kitab Nahwu, ilmu hisab dan lain-lain. Karena itulah Imam Ibnu Abdi al-Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima.
Beliau lantas membuat batasan; Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak disaksikan di zaman Rasulullah Saw, apakah beridentitas wajib seperti mengajar ilmu Nahwu, dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib (jarang ditemui dan maknanya sulit dipahami), baik yang terdapat didalam Al-Qur’an ataupun Al-Sunnah di mana pemahaman terhadap syari’ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya,. ataupun berstatus haram seperti paham madzhab Qodariah, Jabariah dan Majusiah, atau juga berstatus mandlubah seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak disaksikan pada zaman generasi pertama Islam. Dan bid’ah yang berstatus makruhah seperti menghiasi Masjid dan memperindah Mushaf, bid’ah yang beridentitas Mubahah seperti bersalam-salaman atau mushofahah setelah sholat Shubuh dan Ashar, berlebih-lebihan dalam menyajikan menu-menu makanan dan minuman yang serba nikmat, bernecis-necis dalam berpakaian , dan lain-lain.
Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka kita tahu bahwa adanya klaim bahwa ini adalah bid’ah, seperti memakai tasbih, melapatkan niat, tahlilan ketika kirim do’a dan sedeqah setelah kematian karena tidak ada larangan untuk bersedeqah, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah. Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar pasar malam, bermain undian pertunjukan tinju, gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk- buruknya bid’ah.
PASAL MENJELASKAN TENTANG :
BAGAIMANA MASYARAKAT JAWA BERPEGANG TEGUH PADA MADZHAB AHLI AL SUNNAH WA AL JAMA’AH TENTANG KAPAN LAHIRNYA BID’AH DAN PENYEBARANNYA DI TANAH JAWA TENTANG MACAM-MACAM PERILAKU AHLI BID’AH YANG TERJADI DI ZAMAN INI
Masyarakat Muslim di pulau Jawa tempo dulu memiliki pandangan dan madzhab yang sama, memiliki satu referensi dan kecenderungan yang sama. Semua masyarakat Jawa ketika itu menganut dan mengidolakan satu madzhab yakni Imam Muhammad bin Idris Al- Syafi’i dan di dalam masalah teologi atau aqidahnya mengikuti madzhab Imam Abu Hasan al ‘Asy’aridan di bidang Tasawuf mengikuti madzhab Imam al – Ghazali dan Imam Abi al Hasan al Syadili, Rodiallahu Anhum Ajma’in.
Pada perkembangan selanjutnya di tahun 1330 H, muncul beberapa golongan yang bermacam-macam, dan mulai timbul berbagai pendapat yang saling bertentangan, isu yang bertebaran, dan pertikaian dikalangan para pemimpin. Diantara mereka ada yang beraviliasi pada kelompok Salafiyyin, golongan Tradisional yang tetap eksis berpegang teguh pada doktrin ajaran yang diinginkan Salafuna al – Sholih, bermadzhab kepada satu madzhab tertentu, berpegang kepada kitab-kitab mu’tabarah yang beredar, mencintai ahlul bait, para wali dan orang-orang yang sholih, mengharap berkah mereka baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, melakukan ritus ibadah berupa ziarah kubur, mentalqin mayit, shadaqah untuk mayit dan menyakini adanya syafaat atau pertolongan, kemanfaatan doa, mengerjakan tawassul dan lain-lain.
Sebagian dari masyarakat kita terdapat kelompok yang mengikuti pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo, yang menyepakati pendapat yang menyatakan bid’ahnya beberapa hal diatas sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab al – Nadji dan Ahmad bin Taimiyah dan dua muridnya yakni Ibnu al-Qoyyim dan Ibnu Abdi al-Hadi, kelompok kedua ini secara tegas mengharamkan apa yang telah menjadi kesepakatan kaum muslimin sebagai bentuk ibadah sunnah, yakni pergi untuk menziarahi makam Rasulullah SAW. Firqoh ini secara terus menerus melakukan penentangan keras terhadap kaum muslimin atas rutinitas yang mereka jalankan.
Imam Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab Fatawinya: Ketika seseorang itu bepergian untuk ziarah, dan ia menyakini bahwasanya menziarahi makam Rasulillah Saw itu adalah merupakan perbuatan taat, maka hal itu diharamkan menurut Ijma atau konsensus para Ulama’. Konsekwensi dari pengharaman ini diharapkan menjadi sesuatu yang mampu memutuskan aktifitas tersebut.
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al–Mut’i di dalam kitab risalahnya yang berjudul Thahiru al-Fuad min Danasi al tiqod mengatakan: Kehadiran firqoh atau sekte-sekte pemecah belah ini memberikan cobaan tersendiri pada mayoritas kaum muslimin baik mereka yang salaf, kelompok tradisionalis maupun generasi khalaf, atau kelompok modernis, sehingga kaum muslimin ketika itu semacam tertimpa musibah keretakan dan perpecahan dikalangan mereka. Ibarat anggota tubuh terkena penyakit yang menular, kemudian ia harus memotongnya agar tidak menjalar atau menular pada anggota tubuh yang lain. Firqoh ini seolah-olah seperti penyakit lepra yang harus kita hindari sejauh mungkin.
Sungguh sekte ini merupakan segolongan kaum Muslim yang mempermainkan agama mereka sendiri, mereka mencaci maki para Ulama Salaf dan Khalaf, kelompok agama yang mempermainkan agama ini berkata : “Mereka semua para Ulama adalah bukanlah orang-orang yang ma’sum, tersucikan, terhindar dari kesalahan dan dosa, maka tidaklah selayaknya untuk taqlid kepadanya, sama saja apakah mereka saat ini masih hidup ataukah sudah wafat”. Selalu saja mereka mencaci maki para Ulama dan mengobarkan shubhat, mereka sebarluaskan kesamaran tersebut dihadapan dhu’afa, dan mereka berupaya untuk membutakan pandangan orang-orang yang lemah agamanya tersebut atas diri mereka. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk mengobarkan permusuhan dan saling membenci, mereka berusaha mencari simpati dan popularitas sehingga dengan leluasa mereka dapat berbuat kerusakan di muka bumi.
Mereka berkata: Kebohongan harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT, padahal mereka semua mengetahui, bahwa apa yang mereka katakan adalah untuk mengelabuhi masyarakat awam, agar orang orang awam ini menyangka bahwa merekalah orang orang yang mengemban tugas Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, merekalah orang-orang yang senantiasa memotivasi dan meyakinkan kepada manusia untuk tetap mengikuti syara dan menjauhi bid’ah.
Berkaitan dengan ini Allah-lah Dzat yang menjadi saksi bahwa sesungguhnya sekte inilah yang pada hakikatnya merupakan komplotan orang-orang yang menempuh jalan bid’ah dan menuruti hawa nafsu.
Al-Qodli ‘Iyad di dalam kitab Al Syifa berkata: Kerusakan yang terbesar akibat ulah firqah ini adalah terjadinya distorsi pemahaman agama, dan kerusakan itupun merambah ke dalam persoalan-persoalan dunia sebagai akibat dari provokasi mereka terhadap kaum muslimin untuk bersengketa di dalam masalah agama yang kemudian merambat ke dalam urusan-urusan dunia.
Imam Al-‘Allamah Mullauddin Aly al Qariy mengisyaratkan problematika ini di dalam kitab syarahnya:
وقد حرم الله تعالى الخمر والميسير لهذه العلة قال الله تعالى: انما يريد الشيطان ان يوقع بينكم العداوة والضاء فى الخمر والميسير
Sungguh Allah Ta’ala mengharamkan khomer dan perjudian karena alasan ini, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah: Sesungguhnya Syaitan bermaksud untuk mendatangkan sikap permusuhan dan saling membenci diantara kalian semua melalui khomer dan perjudian.
Termasuk dalam katagori gerakan baru yang muncul di pulau Jawa adalah sekte Syi’ah Rafidloh, yakni golongan yang mencela sahabat Abu Bakar al-Shiddiq dan Sayyidina Umar Bin Khattab RA, golongan ini juga membenci para sabahat RA, dan berlebih-lebihan dalam mencintai dan fanatik terhadap Sayyidina Ali RA dan Ahli bait. Sayyid Muhammad di dalam syarah Al – Qomus al – Munith berkata: sebagian dari mereka telah beridentitas sebagai kafir Zindiq, mudah-mudahan Allah menjaga kita dan kaum Muslimin semuanya.
Al – Qodli ‘Iyad di dalam kitab Al-Syifa juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Mughoffah RA ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Takutlah kalian semua kepada Allah SWT, takutlah kalian semua kepada Allah SWT dan berhati-hatilah kalian semua dalam menyikapi para sahabatku, mudah-mudahan Allah memberikan penjagaan kepada para sahabatku, janganlah kalian semua bermaksud buruk dan menganiaya mereka setelah kematianku. Barang siapa mencintai mereka maka dengan sepenuh hati aku mencintainya, Barang siapa membenci mereka maka dengan segala kebencianku pula aku membencinya. Barang siapa membenci dan menyakiti mereka berarti ia menyakitiku, barang siapa menyakitiku maka berarti menyakiti Allah, dan barang siapa menyakiti Allah maka bersiaplah untuk menerima adzhab Allah”.
Dan Rasulullah Saw bersabda:
لاتسبوا اصحابي فانه يجئ قوم فى أخر الزمان يسبون اصحابي فلاتصلوا عليهم ولاتصلوا معهم ولاتناكحوهم ولاتجالسوهم فان رضوا فلاتعودوهم
Janganlah kalian semua mencaci maki para sahabatku, karena sesungguhnya akan datang di akhir zaman nanti, sekelompok kaum yang mencela sahabatsahabat ku, maka janganlah kalian semua mensholati janazah mereka, janganlah kalian semua sholat bersama mereka, janganlah kalian semua menjalin pernikahan dengan mereka. Jangan pula kalian berdiskusi bersama mereka, jika mereka sakit, maka jangan jenguk mereka.
Dan dari Rasulullah Saw. Beliau bersabda:
من سب اصحابى فاضربوه
“Barang siapa mencela sahabat-sahabatku maka bunuhlah dia“.
Pernyataan keras Nabi ini menjelaskan kepada kita bahwa siapa saja yang menyakiti para sahabatnya maka berarti ia menyakiti Nabi, dan menyakiti Nabi Saw adalah haram. Rasulullah Saw bersabda:
لاتؤذون فى اصحابى ومن اذاهم فقد اذانى, وقال لاتؤذونى فى العائشة, وقال فى فاطمة رضي الله عنها بضعة منى يؤذينى مااذاها
Janganlah kalian semua menyakitiku melalui para sahabatku, barang siapa menyakiti sahabat-sahabatku berarti ia menyakitiku, dan Nabi juga bersabda, jangalah kalian menyakitiku dengan cara menyakiti Aisyah dan Nabi bersabda pula ; janganlah pula dengan cara menyakiti diri Fatimah RA karena ia adalah keratan darah dagingku, menyakitiku segala yang menyakitkan dirinya Muncul juga sekelompok kaum yang lantas disebut sebagai sekte Abahiyyun yakni golongan yang memperkenankan untuk melakukan apa saja yang disukai, mereka berkata Sesungguhnya seorang hamba, ketika ia telah sampai kepada puncak rasa cintanya, dan hatinya telah suci dan terbersihkan dari sifat lupa, dan dia telah memilih iman daripada kufur dan kekufuran, maka gugur dan terbebaskanlah ia dari tuntutan perintah dan larangan. Dan tidaklah Allah akan memasukkannya ke neraka sebab melakukan dosa-dosa besar.
Sebagian dari mereka juga berkata : Bagi seorang hamba yang telah sampai pada puncak posisi mahabbah, maka gugurlah baginya kewajiban untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang dlohir, maka yang menjadi substansi ibadahnya adalah bertafakkur dan mempercantik akhlaq batiniahnya. Syayid Muhammad di dalam Syarah Ihya nya berkata : Pernyataan ini adalah kufur zindik dan kesesatan, tetapi golongan Abahiyyun ini memang sudah ada sejak zaman dulu, penganutnya adalah orang-orang bodoh dan sesat mereka tidak memiliki pemimpin yang mengerti tentang ilmu syari’at sebagimana layaknya.
Muncul pula aliran yang lantas memproklamirkan diri sebagai Tanasukhil al-Arwah,kelompok yang mengaku sebagai titisan ruh-ruh yang selalu berpindah-pindah selama-lamanya dari satu jasad seseorang ke jasad yang lain baik sejenis maupun berlainan jenis. Mereka menyangka bahwa siksaan dan kenikmatan yang dirasakan oleh Arwah tersebut didasarkan atas pertimbangan bersih dan kotornya arwah tersebut. Imam al-Syihab al-Khofaji di dalam syarahnya kitab Al-Syifa berkata: Sungguh ahli syari telah mengkafirkan mereka karena muatan pendapat-pendapatnya ternyata melakukan pembohongan terhadap Allah, Rasul-Nya, dan kitab suci-Nya.
Sebagian lagi ada yang menganut ajaran Hulul dan Ittihad, mereka adalah orang-orang yang menjalankan tasawufnya dengan kebodohan, mereka berkeyakinan bahwa Allah swt. adalah wujud yang mutlak. Sesungguhnya selain dari pada Allah tidaklah ia memiliki sifat Al-Wujud sama sekali, sehingga bila dikatakan Al-Insanu Maujudun maka makna yang dikehendaki adalah bahwa manusia itu memiliki hubungan dengan Al Wujud al Mutlaq yakni Allah Ta’ala.
Al Allamah al Amir di dalam kitab Hasyiyah-nya Imam Abdi al-Salam, beliau berkata: Ucapan dengan interpretasi di atas, merupakan kufur yang shorih, karena tidaklah mungkin terjadi yang namanya hulul dan ittihad. Bila hal tersebut benar terjadi pada diri para pembesar wali maka kejadian itu harus dita’wili dengan sesuatu yang cocok dengan kondisi dan derajat kewalian mereka. Sebagai mana faham Wahdati al Wujud yang mereka anut. Seperti ucapan mereka;
ما فى الجبة الا الله
" Tidak ada di dalam jubah ini kecuali Allah "
Mereka menghendakinya dengan makna bahwa apa saja yang ada di dalam jubah bahkan apapun yang wujud di dalam seluruh alam ini, tidaklah ia terwujud kecuali atas kehendak Allah, Syaikh Muhammad al Safarini berkata di dalam kitab Lawaaihu al-Anwar: Sebagian dari tanda sempurnanya kema’rifatan adalah kemampuan seorang hamba untuk menyaksikan Tuhannya.
Setiap Arif (orang yang ma’rifat) selama ia masih menafikan pengetahuan atas Tuhannya pada waktu apapun maka bukanlah ia dinamakan sebagai Arif tetapi hanya disebut sebagai Shohibul Haali dimana Syuhudihi Robbahu – nya, (penyaksiannya terhadap realitas Tuhannya) hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu saja. Nah, keberadaan Shohibul Haali ini sama dengan orang yang mabuk, dimana pengetahuan spiritualnya belumlah cukup mengukuhkan eksistensinya sebagai seorang Arif.
Menjadi jelaslah bahwa apa yang dimaksud dengan Wahdati al Wujud dan Al Ittihad dalam madzhab tasawuf adalah bukanlah hanya sekedar menggunakan parameter apa yang dhohir saja atau atas dasar persangkaan belaka. Dengan demikian pernyataan/statemen para penyembah berhala yang mengatakan bahwa: Kita tidak menyembah berhala ini kecuali hanya menjadikannya sebagai lantaran agar kita dapat mendekatkan diri kepada Dzat Allah. Bagaimana mungkin pelaku sedemikian (Wahdati Al-Wujud) dianggap sebagai orang-orang yang ma rifat (Arifin).
Padahal makna yang subtansial dari Ittihad itu sendiri adalah sebagaimana dikatakan oleh Al- Aarif:
وعلمك أن كل أمر امرى * هو المعنى المسمى بالا تحاد
Pengetahuan anda atas segala sesuatu adalah urusan saya, inilah makna yang sesungguhnya dinamakan sebagai Al-Ittihad.
Untuk itu jelaslah bahwa setiap umat Islam memiliki kemampuan dan kesempatan untuk meraih maqom ini walaupun pada tingkat yang berbedabeda. Sengaja saya membahas secara panjang lebar terhadap sekte/golongan ini, karena saya menyaksikan bahwa golongan inilah yang sesungguhnya paling membahayakan terhadap kaum Muslimin dibandingkan bahaya yang dimunculkan oleh kaum kafir dan mubtadi’in, para ahli bid ah. Karena mayoritas manusia mengagungkan golongan ini dan begitu antusiasnya ia mendengarkan fatwa-fatwa mereka dengan ketidak mengertiannya terhadap uslub-uslub atau gramatika bahasa arab.
Imam Asmu’i meriwayatkan sebuah hadits dari Imam Kholil dari Abi Amrin bin A’la , beliau berkata :
اكثرمن تزندق بالعراق لجهله بالعربية وهم باعتقاده الحلول والاتحاد كفرة
Kebanyakan orang yang kafir zindik dari penduduk Irak adalah disebabkan oleh ketidakmengertian mereka terhadap literatur Arab mayoritas dari mereka menjadi kufur karena keyakinan mereka yang salah terhadap pemahaman Hulul dan Ittihad .
Qodli Iyadh didalam kitabnya Al Syifa mewanti-wanti : Sesungguhnya setiap bentuk perkataan yang secara sharih, terang-terangan menafikan atau menghilangkan sifat ketuhanan dan ke Maha Esaannya, melakukan penyembahan terhadap selain Allah atau mempersekutukan Allah pada sesembahannya adalah merupakan bentuk kekufuran yang nyata. Seperti juga ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh Kaum Duhriyah, Nasrani, Majusi, dan orang-orang yang mempersekutukan Allah dengan menyembah berhala, Malaikat, Syetan, Matahari, bintang-bintang, dan menyembah api ataupun selain daripada Allah. Demikian juga kekufuran itu terjadi pada orang-orang yang menyakini adanya Hulul (menempatnya Dzat Allah pada diri makhluk) dan terjadinya Al – Tanasukh (Ruh Allah SWT menitis pada diri seorang hamba).
Kekufuran itu dapat pula terjadi pada orang yang mengakui ketuhanan Allah dan ke-Maha Esaannya tetapi ia menyakini bahwa Allah tidaklah hidup atau bukanlah Dzat yang Qadim (terdahulu), atau sesungguhnya Allah adalah dzat yang hadits (baru datang) dan memiliki bentuk, atau menyangka bahwa Allah memiliki anak istri, dan bahkan ia terlahirkan dari sesuatu yang maujud sebelum-Nya, atau sesungguhnya ada sesuatu selain Allah yang menyertai- Nya di zaman Azali, atau menyakini bahwa ada Dzat lain selain Allah yang menciptakan dan mengatur alam ini. Semua keyakinan dan anggapan sebagaimana disebut di atas merupakan bentuk kekufuran menurut ijma kaum muslimin.
Demikian juga kekufuran itu terjadi pada seseorang yang menganggap dirinya dapat duduk bersama Allah, menyertai-Nya naik ke Arasy, berbincangbincang dengan-Nya dan meyakini dapat menyatunya Dzat Allah pada diri seseorang sebagaimana yang difahami oleh sebagian kaum Tasawuf, aliran kebatinan dan orang-orang Nasrani.
Termasuk bentuk kekufuran yang lain adalah: seseorang yang menyakini sifat ketuhanan dan ke Maha Esaan Allah tetapi ia menentang pokok-pokok kenabian secara umum atau konsepsi-konsepsi kenabian kita Muhammad Saw secara khusus. Atau salah satu dari para nabi, dimana hal itu terjadi setelah ia mengetahui konsepsi konsepsi nash-Nya, maka tanpa keraguan ia dihukumi kafir. Demikian pula menjadi kafir seseorang yang menyatakan bahwa Nabi kita Muhammad Saw adalah bukanlah ia yang berdomisili di Makkah dan Hijaz.
Kekufuran itu juga akan terjadi sebab beberapa hal berikut ini, antara lain : Seseorang yang mengakui terutusnya Nabi yang lain bersamaan dengan kenabian Nabi Muhammad SAW atau masih akan ada Nabi lagi setelah kenabian Nabi Muhammad SAW juga seorang yang mengklaim bahwa kenabian Muhammad Saw adalah hanya dikhususkan untuk kalangan atau golongannya sendiri (bukan Nabi yang Rahmatan lil alamin). Demikian juga terjadi kekufuran apa bila ada seorang yang kondang sebagai ahli tasawwuf, tetapi hingga kebablasan ia menyatakan diri bahwa ia menerima wahyu dari Allah Ta ala walaupun ia tidak sampai mengaku-aku menjadi Nabi.
Imam Yusuf al Ardhabili di dalam kitab Al Anwar-nya memberikan pernyataan yang tegas bahwa : Dapatlah dipastikan kekafiran itu terjadi pada setiap orang yang mengucapkan suatu perkataan yang sebab ucapan itu umat menjadi terjerumus pada lembah kesesatan, apalagi bila sampai meng-kafirkan sahabat, termasuk juga setiap orang yang melakukan perbuatan dimana pekerjaan itu tidaklah muncul atau bersumber kecuali dari orang-orang kafir seperti sujud pada salib atau menyembah api, atau pergi menuju ke gereja-gereja bersama pengikut-pengikut gereja dengan mengenakan atribut-atribut yang juga dipakai oleh ahli-ahli gereja seperti memakai ikat pinggang atau yang lainnya.
Demikian juga ia yang mengingkari eksistensi Makkah, Ka’bah, ataupun Masjidil Haram bilamana hal itu muncul dari seorang yang menurut pandangan kita ia sebenarnya tau dan memahami bahwa kenyataannya pergaulan mereka adalah dengan orang-orang Islam.
PASAL MENJELASKAN TENTANG KHITTAH;
Kembali pada ajaran Al Shalaf al-Sholih menjelaskan maksud dari kelompok yang disebut dengan Al Sawad al A’dham di era ini dan pentingnya berpegang teguh pada salah satu madzhab yang empat. Dengan memahami apa yang telah saya kemukakan di atas, kita menyadari bahwa sesungguhnya kebenaran yang haqiqi itu berpihak pada kalangan Al-Salafiyah generasi terdahulu yang konsisten dan survive mengugemi (berpegang teguh pada) nilai-nilai ajaran agama yang telah dibangun oleh Ulama Al-Salaf al Sholih merekalah yang oleh Rasulillah sendiri beliau identifikasi sebagai Al-Sawadu al–A’dham (golongan mayoritas) yakni mereka yang cocok dan menyepakati konsepsi-konsepsi agama yang ditetapkan oleh Ulama-Ulama Makkah, Madinah dan Ulama-Ulama Al Azhar yang mulia, kesemuanya adalah menjadi panutan kelompok ahli al Haq, sayangnya sulit sekali atau bahkan hampir tidaklah mungkin melakukan penelitian dan pelacakan secara seksama terhadap setiap persoalan dari sejumlah Ulama-Ulama ini. Karena kemasyhuran dan menyebarnya tempat domisili mereka diberbagai daerah. Dan tidak mungkin pula dapat menghitungnya karena keberadaan mereka sebagaimana bintang gumintang di langit.
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah haditsnya:
ان الله لايجتمع أمتي على ضلالة. ويدالله على الجماعة من شذشذ الى النار (رواه الترمذي) زاد ابن ماحه: فاذا وقع الاختلاف, فعليك بالسواد الاعظم مع الحق واهل
Sesungguhnya Allah Ta ala memberikan jaminan bahwa umatnya tidaklah akan bersekongkol untuk menyepakati kesesatan, keberpihakan Allah adalah pada Al Jama ah, barang siapa yang menyimpang dari konsensus mayoritas berarti bahwa ia mengasingkan diri menuju neraka. (HR. Al Turmudzi)
Imam Ibnu Majah menambahkan: Bila terjadi perselisihan maka pegangilah keputusan yang diambil oleh Al Aswad al-A’dham (kelompok mayoritas) dengan segala komitmen atas kebenaran mereka di dalam kitab Al-Jami Al-Shagir disebutkan:
ان الله قد اجار أمتي أن تجتمع على ضلالة
" Sesungguhnya Allah telah menyelamatkan umatku dari segala bentuk persekongkolan atas perbuatan sesat ".
Mayoritas dari mereka yang konsisten memegangi kebenaran (Ahli al-Haq) adalah mereka yang menjadi pengikut Imam Madzhab yang empat (Al-Madzahib al-Arba’ah), mengapa demikian? Kita tahu bahwa Imam Bukhori adalah bermadzhab Syafi’iy beliau meriwayatkan hadits dari Imam Humaidiy, Al Za faroniy, dan Imam Karobiisiy, demikian juga Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Nasa’i. Demikian pula pada beberapa Imam/Muhaddits yang lain yakni : Imam Al-Syibi adalah pengikut madzhab Malikiy, Imam Mahaasibi adalah bermadzhab Syafi’iy. Imam Al Jariry merupakan penganut setia Imam Hanafiy.
Syaikh Abdul Qadir al Jailani bermadzhab Hambaliy, Imam Abu Hasan Al Syadhili pengikut madzhab Malikiy, dan dengan mengikuti satu madzhab tertentu akan lebih dapat terfokus pada satu nilai kebenaran yang haqiqi, lebih dapat memahami secara mendalam dan akan lebih memudahkan dalam mengimplementasikan amalan. Dengan menentukan pada satu pilihan madzhab inilah berarti ia telah pula melakukan jalan yang juga ditempuh oleh Al Salaafuna al Shaalih, mudah-mudahan keridloan Allah terlimpah curahkan pada mereka semua, Amin.
Kita sebagai kelompok awam dari mayoritas kaum muslimin harus membulatkan tekad untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah swt. Haqqa al – Taqwa, dan senantiasa berharap agar nantinya kita semua tidak mati meninggalkan dunia yang fana ini kecuali tetap mengugemi agama Islam, kita sepakat untuk senantiasa berdamai dan melakukan rekonsiliasi dengan mereka atau siapa saja yang berselisih. Merekatkan tali persaudaraan, bersikap dan berperilaku baik terhadap semua tetangga, kerabat dan seluruh teman, dapat memahami dan melaksanakan hak-hak para pemimpin, bersikap santun dan belas kasihan terhadap kaum dlu afa dan kalangan wong cilik.
Kita berusaha mencegah mereka dari segala bentuk permusuhan, saling benci-membenci, memutuskan hubungan, hasut-menghasut, sekterianisme dan memebentuk sekte-sekte baru yang mengkotak-kotakkan Agama, kita menghimbau pada mereka semua untuk bersatu, bersahabat, tolong menolong dalam kebaikan, berpegang teguh pada agama Allah yang kokoh, dan menghindari perpecahan (disintegrasi). Hendaknya kita tetap eksis berpedoman pada Al Kitab, Al Sunnah, dan apa saja yang menjadi tuntunan para Ulama, panutan umat yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal Ra. Merekalah Ulama yang Mujma ‘Alaih, sah untuk diikuti dan dilarang keluar dari madzhab madzhab mereka. Hendaknya kita juga berpaling dari segenap bentuk organisasi organisasi baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang dibangun oleh Al Salaf al Sholih ini.
Rasulullah Saw. bersabda :
من شدّ شدّ على النار
" Barang siapa yang menyimpang (keluar dari Al-Jamaah) berarti ia mengungsikan dirinya ke neraka ".
Untuk itu hendaknya kita tetap konsisten memegangi Al Jamaah (organisasi aswaja) ‘ala-Thariqati Al Salaf Al Sholihin. Rasulullah saw. bersabda:
وأنا امركم بخمس أمرنى الله بهن: السمع والطاعة, والجهاد, والهجرة, والجماعة فان من فارق الجماعة قيد سبر فقد خلع ربفة الاسلام عن عنقه
"Aku perintahkan pada kalian semua untuk melaksanakan lima hal, dimana Allah telah pemerintahkan hal itu padaku, yakni bersedia untuk mendengarkan, taat dan siap untuk berjihad, melakukan hijrah dan bergabung masuk dalam bingkai Al-Jamaah. Sesungguhnya seseorang yang berpisah dari jamaah walaupun hanya sejengkal, berarti sungguh ia telah melepaskan ikatan tali keislamannya dari lehernya" .
Sayyidina Umar bin Al Khattab ra berkata:
عليكم بالجماعة واياكم والفرقة, فان الشيطان مع الواحد وهو مع الاثنين أبعد ومن أرد بحبوحةالجنة فليلزم الجماعة
"Berpegang teguhlah kalian semua pada Al Jama ah, hindarkan diri kalian dari segala bentuk perpecahan, karena sesungguhnya syetan ketika menyertai anda seorang diri saja, maka dengan sangat mudah ia menaklukkannya dibanding ketika ia menyertai dua orang yang bersekutu, barang siapa bermaksud dan ingin mendapat kenikmatan hidup di dalam surga maka tetaplah bersama Al Jama ah”.
PASAL MENJELASKAN TENTANG;
WAJIBNYA TAQLID BAGI SESEORANGYANG TIDAK MEMILIKI KEAHLIAN UNTUK BERIJTIHAD
WAJIBNYA TAQLID BAGI SESEORANGYANG TIDAK MEMILIKI KEAHLIAN UNTUK BERIJTIHAD
Menurut pandangan Jumhuril Ulama, setiap orang yang tidak memiliki keahlian untuk sampai pada tingkat kemampuan sebagai mujtahid mutlak, sekalipun ia telah mampu menguasai beberapa cabang keilmuan yang dipersyaratkan di dalam melakukan ijtihad, maka wajib baginya untuk mengikuti (taklid) pada satu qaul dari para Imam Mujtahid dan mengambil fatwa mereka agar ia dapat keluar dan terbebaskan dari ikatan beban (Taklif)yang mewajibkannya untuk mengikuti siapa saja yang ia kehendaki dari salah satu Imam Mujtahid, sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt :
فاسئلوا اهل الذكر ان كنتم لا تعلمون
"Maka bertanyalah kalian semua kepada ahli ilmu jika kalian semua tidak mengetahui".
Dengan berdasar pada ayat ini, seseorang yang tidak mengetahui, diwajibkan oleh Allah Swt. untuk bertanya, Nah bertanya itu merupakan perwujudan sikap taqlid seseorang kepada orang yang ‘Alim. Firman Allah ini berlaku secara umum untuk semua golongan yang dikhitobi. Secara umum pula firman Allah ini, mewajibkan kita untuk bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu yang tidak kita ketahui, sesuai dengan kesepakatan / konsensus Jumhur al Ulama. Karena sesungguhnya orang yang beridentitas awam itu pasti ada sejak zaman generasi sahabat, tabiin dan hingga zaman setelahnya, mereka wajib meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikuti fatwa-fatwa mereka dalam hukum-hukum syari ah dan mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk Ulama.
Pertanyaan esensial yang kemudian muncul adalah, mengapa harus mempertanyakan suatu hukum dan tuntutan syari at yang tidak diketahui?. Karena sesungguhnya para Ulamapun ketika menerima pertanyaan, mereka seringkali segera menjawab pertanyaan tersebut to the point tanpa memberi isyaroh untuk menuturkan dalil, di satu sisi ketika seorang Ulama melarang untuk melakukan sesuatu kepada orang yang awam, merekapun (awam) langsung menerimanya tanpa mengingkarinya.
Kondisi yang sedemikianlah yang lantas disepakati adanya kewajiban bagi orang awam untuk mengikuti pendapat seorang mujtahid, disadari pula bahwa sama sekali orang awam itu tidak memiliki kemampuan dan otoritas untuk memahami Al Kitab dan Al Sunnah dan tentunya pemahamannya tidaklah dapat diterima jika tidak cocok dengan pemahaman Ulama ahli Al Haq yang agung dan terpilih. Sesungguhnya orang yang ahli bid’ah dan berperilaku menyimpang, mereka memahami hukum-hukum secara bathil dari Al Kitab dan Al Sunnah, pada kenyataannya apapun yang diambil oleh ahli bid’ah tidaklah dapat dipegangi sebagai kebenaran.
Bagi orang awam tidak diwajibkan untuk tetap eksis / konsisten mengikuti satu madzhab saja dalam menyikapi setiap masalah baru yang muncul. Walaupun ia telah menetapkan untuk mengikuti satu madzhab tertentu seperti madzhabnya Imam Al – Syafi’i ra., tidaklah selamanya ia harus mengikuti madzhab ini, bahkan diperkenankan baginya untuk pindah pada madzhab yang lain selain Al – Syafi’i. Seorang awam yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengkajian masalah dan istidlal (melakukan pelacakan / pencarian sumber dalil) atau ia juga tidak memiliki kemampuan membaca sebuah kitabpun yang ada sebagai reverensi dalam sebuah madzhab, lantas ia mengatakan bahwa saya adalah bermadzhab Al-Syafi’i, maka pernyataan yang sedemikian itu tidaklah absah sebagai pengakuan bilamana hanya sekedar ucapan belaka.
Tetapi menurut sebuah pendapat yang lain menyatakan bahwa; ketika seorang awam itu konsisten mengikuti satu madzhab tertentu maka wajiblah baginya untuk menetapkan madzhab pilihanya. Karena jelas seorang Awam itu meyakini bahwa madzhab yang ia pilih adalah madzhab yang benar. Maka konsekwensi yang harus ia terima adalah wajib menjalankan apa yang menjadi ketentuan madzhab yang ia yakini.
Bagi seseorang yang taqlid ( مقلّد ) boleh mengikuti selain imamnya dalam sebuah masalah yang timbul padanya. Misalnya saja ia taqlid pada satu imam dalam melaksanakan shalat dhuhur, dan ia taqlid dan mengikuti imam lain dalam melaksanakan shalat ashar. Jadi taqlid setelah selesainya melakukan sebuah amal/ ibadah adalah boleh.
Untuk memahami hal ini dapatlah digambarkan sebuah masalah: Bila seorang yang bermadzhab Syafi’i melakukan shalat dan ia menyangka ( ظن ) atas keabsahan shalatnya menurut pandangan madzhabnya, ternyata kemudian menjadi jelas bahwa shalatnya adalah batal menurut madzhab yang dianutnya, dan sah bila menurut pendapat yang lain, maka baginya boleh langsung taqlid pada madzhab lain yang mengesahkan shalatnya. Dengan demikian cukup terpenuhilah kewajiban shalatnya.
PASAL MENJELASKAN TENTANG;
SIKAP EKSTRA HATI-HATI DI DALAM MENGAMBIL AGAMA DAN KEILMUAN, JUGA SIKAP ANTISIPATIF TERHADAP FITNAH YANG DIMUNCULKAN OLEH PARA AHLI BID’AH, ORANG-ORANG MUNAFIQ DAN PARA PEMIMPIN YANG MENJERUMUSKAN.
Wajib bersikap ekstra hati-hati didalam mencari dan menghasilkan keilmuan, maka janganlah anda mencari dan mendapatkannya dari selain ahli ilmu.
روي ابن عساكر وعن الامام مالك رضي الله عنه: لا تحمل العلم عن اهل البدع ولا تحمله عمن لا يعرف بالطلب, ولاعمن يكذب فى حديث الناس وان كان لايكذب فى حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم
"Diriwayatkan dari Imam Ibnu Asakir dari Imam Malik Ra : Janganlah engkau menerima ilmu dari ahli bidah, jangan pula anda mencari dan menerima keilmuan (agama) dari seseorang yang tidak diketahui kepada siapa ia belajar, dan tidaklah pula diperkenankan menerimanya dari seseorang yang melakukan kebohongan publik didalam menceritakan manusia, walaupun ia diyakini tidak akan melakukan kebohongan terhadap hadits Rasulullah SAW".
وروي ابن سيرين رحمه الله: هذا العلم دين, فانظروا عمن تأخذون دينكم
"Diriwayatkan lagi dari Imam Ibnu Sirrin Ra: Ilmu ini adalah agama; maka selektiflah kalian semua dari siapa kalian mengambil agama".
وروي الديلمى عن ابى عمر رضي الله عنهما مرفوعا: العلم دين, والصلاةدين, فانظروا عمن تاخذون هذا العلم, وكيف تصلون هذه فانكم تسألون يوم القيامة, فلا ترووه الا عمن تحققت أهليته بأن يكون من العدول الثقات المتقين
"Diriwayatkan oleh Imam Al-Dailami dari Ibnu Umar ra. dalam sebuah periwayatan yang marfu : “Ilmu adalah agama dan shalat adalah agama. Maka bersikap telitilah kalian semua didalam mengambil/menerima ilmu itu. Bagaimana anda melakukan shalat seperti ini Sesungguhnya kalian semua akan ditanya nanti dihari kiamat, maka janganlah anda meriwayatkan keilmuan itu kecuali dari seseorang yang benar-benar anda meyakini keahliannya yakni ia yang memiliki sifat-sifat keadilan, dapat dipercaya dan muttaqien”.
وروى مسلم فى صحيحه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: سيكون فى اخر أمتي أنس يحدثوكم مالم تسمعوا انتم ولاابأكم فاياكم واياهم
"Imam Muslim meriwayatkan didalam kitab shahih-nya bahwa Rasulullah SAW bersabda: Akan ditemukan dizaman akhir dari umatku sekelompok manusia yang senantiasa menceritakan kepada kalian segala sesuatu yang mereka tidak pernah mendengarkannya, kamu dan juga orang-orang tua kalian, maka jagalah diri kalian semua, dan waspadailah mereka".
وفى صحيح مسلم أيضا أن أبا هريرة رضي الله عنه يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يكون فى أحر الزمان دجالون كذابونيأتونكم من الاحاديث بمالم تسمعوا انتم ولااباؤكم فاياكم واياهم لايضلونكم ولايفتنونكم
"Di dalam kitab Shahih Muslim juga disebutkan, sesungguhnya Abu Hurairah RA berkata : Rasulillah Saw bersabda : “Akan didapati diakhir zaman nanti Dajjal-dajjal yang menebar kebohongan-kebohongan, mereka datang membawa berita-berita yang kalian dan orang tua kalian semua tidak pernah mendengarkannya, jagalah diri kalian dan waspadailah mereka, jangan sampai mereka menjerumuskan kalian semua, dan jangan pula kalian terfitnah”.
وفى صحيح مسلم أيضا عن عمر ابن العاص رضي الله عنه قال: ان فى البحر شياطين مسجونة اوثقها سليمامن ابن داود, يوشك ان تخرج فتقراء على الناس قرانا
"Juga di dalam kitab Shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Umar bin al Ash Ra. beliau berkata : Sungguh di dalam lautan terdapat syetan-syetan yang terpenjarakan dan yang membelenggunya adalah NabiSulaiman bin Dawud, hampir saja mereka dapat keluar, dan mereka hendak membacakan Al-Qur’an kepada seluruh manusia . Imam Al Nawawi mengomentari hadits ini dengan pernyataannya; bahwa makna (syetan-syetan) yang dikehendaki oleh hadist diatas adalah mereka yang membacakan sesuatu yang sebenarnya bukanlah Al-Qur’an, tetapi ia mengatakannya bahwa ini adalah Al-Qur’an, mereka mengecohkan manusia pada umumnya agar mereka menganggap aneh terhadap Al-Qur’an".
وروي الطبرانى عن ابن عمر رضي الله عنه: ان أخوف مااخاف على أمتي الأئمة المضلون. وروى الامام أحمد عن عمر رضي الله عنه: ان اخوف ماخاف على اأمتي كل منافق عليم اللسان
"Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abi Darda i RA, Sesungguhnya yang paling menghawatirkan atas umatku adalah prilaku para pemimpin yang sesat , Imam Ahmad dalam riwayatnya dari sahabat Umar Ra. Menyatakan : Sesungguhnya kekhawatiran terbesarku atas umat ku adalah orang munafik yang kepandaiannya hanya di lisan saja".
Imam Al Munawwir Ra. menginterpretasikan/ menafsiri hadits ini dengan pernyataannya: Banyak sekali orang yang pandai beretorika tetapi bodoh hati dan perbuatannya, ia mencari ilmu dengan orientasi mencari kerja dari sanalah ia akan mencari makan, dan mengorbankan kesombongan demi meraih kemulyaan. Ia mengajak manusia semesta alam menuju Tuhannya, tetapi ia sendiri lari dari pada-Nya.
وعن زياد بن حدير رحمه الله تعالى: قال لي عمر ابن الخطاب رضي الله عنه: هل تعرف مايهدم الاسلام؟ قلت لا, قال يهدمه زلة العالم, وجدل المنافق بالكتاب, وحكم الأئمة الضلين
Dari Ziyad bin Jabir RA ia berkata; telah berkata kepadaku Sayyidina Umar bin Khattab RA: “Tahukah kamu apakah yang dapat merobohkan Islam”. Aku berkata tidak Ya Amirul Mukminin; Berkatalah beliau: “Yang akan merobohkan Islam adalah tergelincirnya orang awam (sebab mereka tidak bersikap hati-hati), orang munafiq yang menperdebatkan Al Kitab, dan supermasi hukum yang dikendalikan oleh para pemimpin yang menyimpang”.
S e l e s a i