MENGHARGAI DAN MENGASIHI KAUM HOMOSEKSUAL SESUSAI KONSEP RAHMATAN LIL ALAMIN

Dewasa ini marak pembahasan tentang ide legalisasi perkawinan sesama jenis baik Lesbian, Gay, Biseksual maupun Transgender (LGBT). Kini sudah ada 22 negara yang melegalkan perkawinan Homoseksual dan Transgender.  Perkawinan sesama jenis merupakan ide yang melawan  semua ketentuan hukum di Indonesia, baik hukum positif, hukum Islam maupun norma yang hidup ditengah masyarakat dengan budaya ketimuran. Perkawinan yang dikenal selama ini bertujuan untuk mencapai kebahagiaan suami isteri, untuk memperoleh keturunan dalam kebersamaan keluarga yang bersifat parental. Namun, tujuan tersebut dikaburkan bagi kaum LGBT dalam rangka menuntut hak asasi manusia atau HAM. Sementara itu agama, menekankan esensi perkawinan untuk mencegah kemaksiatan seperti perzinahan dan pelacuran serta menolak bahaya semisla penyebaran Penyakit Menular Seksual termasuk HIV/AIDs.
Lesbian, gay dan biseksual termasuk perilaku homoseksual yakni rasa ketertarikan romantis kepada individu yang berkelamin sama, dalam khazanah fiqih homoseksual disamakan dengan istilah liwath menisbatkan kaum Nabi Luth yang dikisahkakn dalam al-Qur’an sebagai pelaku homoseksual akut. Sedangkan transgender adalah ketidaksesuaian antara  identitas gender seseorang dengan jenis kelaminnya, sebagian pendapat menyatakan bahwa transgender ekuivalen dengan Khuntsa dan Mukhonats yang dikenal dalam fiqih.
Romantisme homoseksual sangat berpotensi menular, sebab pada dasarnya baik jenis kelamin laki-laki maupun perem­puan sama-sama mengandung potensi ‘masku­linitas” dan “feminitas” sekaligus, manusia secara naluri akan mempunyai ketertarikan kepada sesama jenis maupun kepada lawan jenis, hanya saja prosentasenya ada yang normal dan ada yang tidak wajar, maka lingkungan dapat menaikkan prosentase orientasi ketertarikan kearah jamaknya sebuah lingkungan, kesimpulan ini dilontarkan oleh pakar psikologi dan seks Sigmun freud.
Pemberian hak kawin bagi kaum homoseksual didengungkan menuntut agar eksistensi mereka diakui, mereka adalah manusia sehingga layak diterima sebagaimana manusia yang lain, melaksanakan perkawinan sebagaimana pada umumnnya. Mereka berusaha meyakinkan kepada khalayak bahwa hal itu adalah kewajaran, bukan suatu kekejian, ataupun penyimpangan.
Keberadaan kaum homoseksual memang ada bahkan pelaku homoseksual tak jarang merupakan orang yang terpelajar dan berprestasi secara akademik. Eksistensi homoseksualitas itu diakui oleh Al-Qur’an, namun seiring itu juga mereka dimusnahkan dengan azab yang dahsyat, lihat dalam Q.S. Huud 82 serta dijelaskan pula dalam Q.S. asy-Syu’ra 173. Kisah ini direkam berulang-ulang didalam al-Qur’an, menunjukkan betapa perhatiannya al-Qur’an dalam hal ini, betapa pentingnya kisah ini sebgai peringatan bagi yang beriman.
Meskipun dari kalangan kecil muncul keraguan korelasi antara perilaku homoseksual kaum Nabi Luth dengan turunnya azab, namun al-Qur’an tidak ada keraguan didalamnya, Tuhan memberikan khususiyyah kepada Nabi Muhammad untuk merahmati semua ummat berupa penundaan azab. Dahulu, kaum Yahudi yang melanggar sumpah janji untuk memuliakan  hari Sabat dijatuhi hukuman pada saat itu juga, dengan firman-Nya “Jadilah kalian kera yang hina”, lihat dalam Q.S. al-Baqarah: 65. mereka benar-benar menjadi monyet yang hina.
Begitu pula kaum Tsamud, yang melanggar janji akan menghormati seekor unta mukjizat Nabi Sholeh, malah mereka membunuh unta tersebut, Tuhan menurunkan azab kepada mereka. Hukuman juga diturunkakn kepada umat Nabi Nuh dengan ditenggelamkan dalam banjir yang dahsyat. Namun tidak demikian dengan Umat Nabi Muhammad yang dianugerahi keistimewaan berupa penundaan azab dengan tujuan untuk memberikan kesempatan bertaubat, kembali ke jalan yang benar. Tuhan tidak memberikan azabnya di dunia ini melainkan di akhirat.
Menghargai dan mengasihi kaum homoseksual sesusai konsep Rahmatan Lil Alamin seyogyanya tidak dengan menjerumuskan mereka lebih dalam, mereka butuh pengentasan dan dukungan untuk sembuh, yang lebih perlu dilakukan ialah menyadarkan bahwa hal itu adalah suatu kelainan, sebab tidak akan sembuh sebuah penyakit jika si penderita tidak menyadari kalau dirinya sedang sakit. Menurut Dadang Hawari Homoseksual termasuk gangguan identitas jenis kelamin, dimana penghayatan gender seseorang menyimpang dari jenis alat kelamin yang dia miliki, gangguan ini merupakan perilaku sakit karena kriteria sehat menurut WHO 1984 meliputi fisik psikologik dan spiritual, artinya sehat itu bio, psiko, maupun spiritual seseorang harus selamat.
Islam mengakui bahwa manusia memiliki hasrat menyayangi dan melangsungkan hubungan seks, oleh karena itu Islam mengatur penyaluran kebutuhan biologis manusia melalui perkawinan yang melibatkan antara pria dan wanita. Sedangkan mengenai perkawinan homoseksual tidak dikenal dalam fiqih munakahat, sebab pembahasannya telah final dikaji dalam bab liwath, yaitu haram, dinyatakan oleh al-Qur’an sebagai kekejian: Q.S.  al-A’raf  80–81, perkawinan sesama jenis tidak dapat dielakkan lagi keharamannya. Dalam hadis Rasulullah SAW juga yang telah melarang sahabat berselimut bersama dengan sehelai sarung atau meletakkan salah satu kaki diatas kaki orang lain ketika sedang berbaring. Dalam hal ini para ulama mujtahid menggunakan Qiyas Aulawi dalam menetapkan hukum bahwa tidur dalam satu selimut dan meletakkan salah satu kaki diatas kaki sahabat lainnya pun dilarang, apalagi yang lebih dari itu.
Sedangkan Transgender  (khuntsa dan mukhonats) pembahasannya masih sebatas hukum berjamaah dalam sholat dan pengidentifikasian kepada jenis kelamin yang dominan, penulis belum menemukan fiqih yang membahas hukum pekawinannya. Sepertinya para ulama telah mafhum dengan meng-ilhaq-kan status hukumnya dengan hukum kasus liwath yang telah jelas keharamannya.
Pelaranngan homoseksualitas juga didukung dengan hukum positif yang tidak memberi ruang bagi perkawinan sesama jenis, pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu sendiri. Jadi selama Agama melarang maka secara hukum positif hal itu juga terlarang. Lebih lanjut sebagaimana ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, asas perkawinan pada dilakukan oleh hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan tujuan memperoleh keturunan dan membina rumah tangga yang diharapkan. 
Secara normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia perkawinan sesama jenis tidak dapat dilakukan, lalu bagaimana dengan perspektif hak asasi manusia atau HAM, yang mempertegas bahwa tidak ada seorangpun yang menghendaki dilahirkan di dunia dengan keadaan homoseksual. Sebagaimana telah penulis ungkapkan diatas bahwa homoseksual dapat disembuhkan, perilaku dapat berubah Selama penderita mempunyai itikad untuk sembuh, HAM menjadi tidak berlaku apabila hubungan sesama jenis tersebut justeru menjadi potensi  menimbulkan penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDs, merusak akhlak mulia dan melawan fitrah hidup manusia.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »