“Kadal Faqru An Yakuna Kufron” kalimat tersebut merupakan hadis Nabi yang
artinya kurang lebih “Kefakiran itu dekat-dekat dengan kekufuran”.
Namun ada yang berpendapat bahwa hadis tersebut merupakan
hadis palsu karena redaksi (matan hadis) tidak relevan dengan kenyataan yang
ada.
Hujjah mereka yang
menganggap hadis ini palsu adalah dengan menengok sejarah kehidupan para
sahabat Nabi. Mereka para shabat Nabi adalah orang-orang yang
tidak punya harta benda, bahkan jubah atau pakaiannya mereka tambal-tambalan, toh Iman mereka kuat.
Sebenarnya cara pandang kita tidak seharusnya begitu, para sahabat
Nabi adalah seorang yang wira’i, mereka adalah orang-orang tersempurna dalam
ittiba’ kepada Nabi Muhammmad SAW. Mereka adalah orang-orang yang kaya. Iman para
sahabat Nabi iman yang kuat karena mereka bukan orang yang fakir.
Definisi fakir ialah orang yang masih membutuhkan. Orang yang memiliki harta banyak belum tentu hatinya kaya, jika masih merasa membutuhkan lebih banyak lagi harta benda, maka dialah orang yang fakir. Sedangakan para sahabat Nabi, mereka sengaja menghabiskan harta bendanya untuk dipakai dijalan Allah, mereka tidak membutuhkan itu.
Para shabat Nabi bukan seorang yang fakir meskipun tidak mempunyai harta duniawi. Biarpun
pakaian mereka tambalan tapi hati mereka tidak membutuhkan pakaian penilaian
duniawi.
Lebih tepat jika memahami hadis dengan hadis Nabi yang
lainnya, Nabi Bersabda : Kekayaan yg hakiki bukanlah dengan banyaknya harta.
Namun kekayaan yang hakiki adalah hati yg selalu merasa syukur. (HR. Bukhari).
Dengan memadukan kedua hadis tersebut maka kita dapat
memahami bahwa Nabi mengarahkan agar kita memiliki iman yang kuat dengan selalu
bersyukur dan merasa cukup atas apa yangmenjadi rezeki kita.
Marilah sahabat, kita memosisikan akal kita dengan
proporsional, jangan sampai logika kita mengoreksi dalil naqli baik Al-Qur’an
maupun Al-Hadis. Tapi sebaliknya akal dan logika kita sebaiknya kita pergunakan untuk memahami dan mengetahui hakiki nash tersebut. Oleh karena itu kita perlu memperluas sudut pandang dan wawasan serta kapasitas kelimuan kita.
Satu permasalahan lagi misalnya, “Innas-Sholata tanha ‘anil fakhsya’i wal munkar” [QS. Al ‘Ankabut: 45] (Sesungguhnya Sholat itu mencegah perbuatan buruk dan munkar). Pada kenyataannya, banyak yang rutin 5 waktu melaksanakan sholat akan tetapi maksiatnya jalan terus.
Satu permasalahan lagi misalnya, “Innas-Sholata tanha ‘anil fakhsya’i wal munkar” [QS. Al ‘Ankabut: 45] (Sesungguhnya Sholat itu mencegah perbuatan buruk dan munkar). Pada kenyataannya, banyak yang rutin 5 waktu melaksanakan sholat akan tetapi maksiatnya jalan terus.
Apakah jika kenyataan paradoks dengan dalil naqli, kemudian harus kita sebut hadis palsu atau ayat palsu ? Tentu saja tidak demikian. Justru kita harus mendahulukan dalil naqli kemudian akal
kita yang menyesuaikannya. Bukan sebaliknya.
Tekait hal itu Imam Ghozali mengatakan jika seseorang
mengerjakan sholat disisi lain ia masih mau mengerjakan maksiat maka sebenarnya
ia belum sholat.
Ki Enthus Dalang Edan menganalogikan sholat dan amal baik
itu bagaikan meja dan kolongnya. Ada meja
pasti ada kolongnya.
Kalau ada meja tapi tidak ada kolongnya maka dapat
dipastikan bahwa meja tersebut merupakan meja yang rusak.
Begitu pula jika seseorang sudah melaksanakan sholat tetapi
tidak beramal baik maka pastilah sholatnya rusak.